Menghadapi Remaja yang Mulai Berpacaran
Yuli (40 tahun), ibu dari remaja perempuan 14 tahun. Ia salah tingkah
ketika pertama kali mengetahui putri sulungnya memberikan kado spesial
dengan ucapan romantis untuk teman sekolahnya yang berjenis laki-laki.
Lho kok, malah ibunya yang salah tingkah?
Pengalaman Yuli mungkin banyak dialami orangtua lain yang baru pertama
kali menghadapi anak remajanya mulai berpacaran. Pasalnya, cukup sulit
menyikapi peristiwa ini. Beberapa orangtua bersikap keras, dengan
memarahi dan memukul anaknya, disertai larangan keluar rumah, karena
khawatir anaknya kebablasan.
Beberapa orangtua lain bersikap cuek karena menganggap dunia remaja
memang seperti itu. Lalu, bagaimana sikap orangtua yang tepat? Untuk
menjawabnya, hal pertama yang perlu direnungkan adalah wajarkah
seseorang jatuh cinta ketika masih remaja?
Hakekat Cinta Remaja
Semua orang membutuhkan kehangatan dan kasih sayang dari orang lain,
baik orangtua, saudara, sahabat, pasangan (kecuali anak-anak, belum
membutuhkan pasangan), bahkan dari Tuhan (pada orang-orang yang
religius, cinta Tuhan merupakan keutamaan tertinggi).
Erich Fromm (1900-1980) seorang ahli psikologi dan filsafat sosial
yang terkenal dengan bukunya The Art of Loving menyatakan, cinta
merupakan jawaban terhadap masalah eksistensi manusia. Hidup dapat
berlanjut dengan penuh makna hanya bila manusia hidup dalam cinta.
Tanpa cinta seseorang akan merasa terpisah dari masyarakat dan alam
sekitar, mengalami kecemasan tiada tara, karena kesepian dan tidak
berdaya menghadapi kehidupan yang membentang. Dalam hal ini cinta
persaudaraan (universal) yang sering disebut cinta sesama, merupakan
cinta paling fundamental, mendasari segala tipe cinta.
Dasar pemikiran Fromm itu, selain dapat ditengok melalui sejarah
peradaban manusia yang tidak pernah lepas dari kisah kegila-gilaan
pencarian cinta dan ritual penyembahan yang membangun rasa persekutuan,
secara nyata dapat kita simak melalui pertumbuhan-perkembangan manusia
ketika memasuki usia remaja. Dengan kondisi perkembangan
fisik-psiko-sosial yang khas ketika remaja, manusia mulai mengembangkan
kebutuhan akan cinta romantik.
Ketika memasuki masa remaja (12 atau 13 tahun), sering disebut masa
pubertas, individu mengalami kematangan fisik dan organ-organ seksual.
Hormon pertumbuhan yang sebelumnya sudah aktif, pada masa ini mengalami
percepatan pertumbuhan karena kematangan tersebut, dan hormon seks yang
semula pasif telah menjadi aktif.
Perubahan fisik yang cepat dan aktivitas hormon seksual, tentu saja
kemudian menimbulkan perubahan-perubahan psikis maupun sosial. Dengan
perkembangan kognisi (kemampuan berpikir) dan emosi-emosi yang menyertai
perkembangan fisik-seksual, secara psikologis remaja mulai merasakan
individualitasnya, menyadari perbedaannya dari jenis kelamin lain,
merasakan keterpisahan-keterasingan dari dunia kanak-kanak yang baru
saja dilaluinya, namun juga masih asing dengan dunia dewasa.
Dalam kondisi ini mereka mulai mempertanyakan identitasnya; Who am I?
Meskipun mungkin tak muncul secara eksplisit, di sela warna-warni
keceriaan masa remaja, kegelisahan yang menyangkut identitas ini pasti
dirasakan. Kegelisahan karena keterpisahan, karena keterasingan! Inilah
persoalan eksistensial manusia!
Remaja yang memiliki keluarga yang hangat (penuh cinta) akan dapat
melewati masa-masa sulit ini dengan relatif mudah. Sebaliknya mereka
yang tidak merasakan kehangatan cinta dalam keluarga, akan memasuki
kehidupan yang sulit, ketika mereka masih belum sepenuhnya mengerti
kehidupan.
Identitas Diri
Remaja berusaha menemukan jawaban atas kekaburan identitas itu,
melalui kelompok sosial di luar keluarga, khususnya kelompok teman
sebaya (peer group). Para ahli psikologi sosial tahu persis bahwa
kelompok merupakan bagian integral dari identitas sosial individu.
Dengan demikian kita tak perlu heran bila remaja cenderung konform
(to conform, mengikuti sikap atau perilaku kelompoknya), karena di sana
mereka merasa menemukan ’identitas’ dan berharap tak mengalami penolakan
dengan konformitasnya itu. Dalam hal ini orangtua perlu menyadari bahwa
keluarga juga merupakan bagian integral identitas sosial setiap
anggotanya.
Bila keluarga penuh kehangatan (penuh penerimaan) dan disertai ajaran
moral, mereka akan melalui pergulatan masa remajanya dengan
mengembangkan nilai-nilai yang diperoleh melalui keluarga, dan
selanjutnya membentuk kesadaran akan identitas diri.
Sebaliknya remaja dari keluarga yang berantakan atau penuh kekerasan,
hari-harinya cenderung dipenuhi rasa penolakan (marah, memberontak,
depresi) dan/atau pencarian penerimaan dari luar keluarga dengan cara
tak sehat (membabi buta, jalan pintas melalui seks, alkoholisme dan
obat-obatan) dilandasi oleh konsep diri yang negatif. Dalam situasi
demikian, identitas diri yang sejati akan sulit ditemukan.
Identitas lebih dari sekadar konsep diri. Ini merupakan kata kunci
dari kebermaknaan eksistensi manusia. Merupakan pengenalan (penemuan)
atas aspek-aspek di dalam diri yang menjangkau aspek spiritual
(kehidupan batin yang berelasi dengan alam, manusia lain, dan Tuhan),
yang memberikan ketenangan, rasa keutuhan-kepenuhan yang relatif
menetap.
Secara alami setiap remaja menerima tugas untuk menemukan identitas
diri masing-masing, agar selanjutnya dapat memasuki masa dewasa secara
sehat dan matang. Untuk itu mereka harus bergerak menuju orang lain. Di
samping masuk dalam interaksi sosial yang lebih luas di luar keluarga,
secara biologis mereka telah dibekali dengan kematangan organ-organ
seksual untuk bergerak menuju individu lain yang berlawanan jenis.
Hal ini harus dilihat sebagai tanda alamiah bahwa ketertarikan
terhadap lawan jenis disertai dorongan seksual merupakan hal yang
kodrati. Sebagai suatu motif, wajar pula bila dorongan semacam ini
disertai muatan emosi yang seringkali menimbulkan kecemasan orangtua.
Yang perlu dicatat, rasa kesepian/keterasingan/keterpisahan makin
dalam bila remaja tak dapat involve (memiliki keterlibatan emosional)
dalam keluarga atau kelompok sosial yang ada. Akibatnya kebutuhan akan
kehangatan cinta dapat berkembang secara primitif-instinktif-biologis,
berupa dorongan seksual yang membabi-buta.
Catatan penting lain, perihal ketertarikan dan dorongan seksual
menuju lawan jenis, pada remaja hal tersebut masih berupa suatu bentuk
kesiapan (untuk kelak bersatu jiwa-raga dengan perasaannya), sementara
mereka masih harus banyak belajar mencintai lawan jenis (cinta romantik)
di tengah pembelajaran mereka yang terus-menerus akan bentuk-bentuk
cinta yang lain.
Dorongan seks bukan sesuatu yang harus disalurkan melalui hubungan
seksual. Tidak boleh dilupakan bahwa ketertarikan dan dorongan seks
menuju lawan jenis merupakan fungsi luhur manusia untuk memenuhi
panggilan hidup berkeluarga.
Orangtua harus dapat menjelaskan, bahwa relasi seksual merupakan hal
agung, yang akan memberikan rasa kepenuhan (penyatuan kembali dari rasa
keterpisahan) hanya bila dilakukan dengan cinta sejati. Sebaliknya,
relasi seksual yang dilakukan sebagai pelarian tanpa cinta, bakal
membuahkan jurang keterpisahan yang makin dalam.
Cinta berarti keputusan untuk memberikan diri dan menerima pihak lain
sepenuhnya sepanjang hidup. Dengan persatuan ini dua orang yang saling
mencintai akan saling memperkembangkan dan memperkuat identitas
masing-masing dan mengalami rasa kepenuhan. Sebagai makhluk yang hidup
dalam pranata sosial, cinta sejati hanya akan menemukan tempat yang
nyaman dalam lembaga perkawinan.
Menuju Prinsip-Moral
Eksistensi manusia juga memiliki penyangga (buffer) lain. Menurut
Fromm terdapat tiga cara yang sering digunakan manusia; membangun
keseragaman (konformitas), kerja rutin dan hiburan rutin, serta kegiatan
kreatif.
Bagi remaja hal itu berarti, perlu kesempatan luas untuk berinteraksi
dengan teman sebaya atau berbagai kelompok yang memungkinkan melakukan
konformitas secara positif, pelaksanaan tugas (belajar dan tugas lain)
dan hiburan (mengembangkan hobi, aktifitas rekreatif) secara rutin,
serta melakukan kegiatan kreatif (mencipta dalam bidang sastra, musik,
seni rupa, ilmu pengetahuan, dsb.).
Sebagai orangtua tentu kita menginginkan agar anak remaja kita dapat
melewati kehidupan ini dengan landasan moral yang kuat, antara lain
dapat melewatkan masa pacaran secara sehat, tak melanggar norma susila.
Nasihat yang paling sering didengungkan adalah ’perkuat agama’!.
Sebenarnya itu tak cukup, bila agama hanya diartikan sebagai sejumlah
kewajiban dan larangan.
’Perkuat agama’ hanya akan memiliki pengaruh signifikan bila
diartikan sebagai memperkuat nilai-nilai moral ke tingkat yang internal,
yaitu tingkat moral tertinggi. Artinya ketika seseorang yang menghadapi
dilema-dilema moral, secara reflektif mengembangkan prinsip-prinsip
moral pribadi yang otonom (bertindak atas dasar moral yang diyakininya ,
bukan karena tekanan sosial). Ini dapat terbentuk karena penerimaan
nilai moral yang diperoleh melalui lingkungan sosial (keluarga, sekolah,
kelompok agama, dll.) yang diolah melalui penalaran dan dicamkan dalam
batin.
Berdasarkan proses di atas tampak bahwa penalaran berperan penting
bagi pengembangan prinsip moral. Hal ini dapat kita bandingkan dengan
dua tingkatan moral yang lebih rendah. Pada stase yang paling rendah,
pra-konvensional, orang memberikan penilaian baik atau buruk atas dasar
konsekuensi hukuman atau hadiah yang menyertai suatu perbuatan, dan
melakukan perbuatan baik demi mendapat hadiah atau menghindari hukuman.
Dalam hal ini penalaran yang digunakan adalah tingkat rendah, setara
dengan penalaran anak 4-6 tahun.
Sedangkan perkembangan moral yang konvensional, orang menilai baik
atau buruk atas dasar persetujuan yang diberikan orang lain. Menilai
baik apa yang disetujui orang lain, dan menilai buruk apa yang ditolak
orang lain.
Pada tahap ini aturan-aturan yang ada dianggap berharga, tapi belum
dapat dipertanggungjawabkannya secara pribadi, sekadar ingin
mempertahankan aturan yang ada (melestarikan sistem sosial). Tingkat
penalaran yang digunakan di sini setara dengan penalaran anak 7-11
tahun.
Pentingnya penalaran dalam mengembangkan moral yang tinggi bermakna
bahwa penanaman moral sejak anak-anak harus disertai reason, penjelasan
yang masuk akal mengapa suatu perbuatan boleh atau tidak boleh
dilakukan, yang sesuai dengan kemampuan penalaran anak pada masa itu.
Saat memasuki masa remaja, dengan kemampuan penalaran yang sudah
berkembang maksimal (mampu berpikir hipotetik dan menganalisa), anak
remaja dapat diajak melakukan pertimbangan-pertimbangan moral dengan
penalaran yang tinggi sesuai potensi yang dimilikinya. Bila orangtua
memperlakukan remajanya dengan larangan tanpa penalaran, itu adalah
pembodohan dan penanaman tingkat moral yang rendah. Akibatnya yang
dicapai adalah tingkat moral rendah (eksternal), yang tak tahan uji
dalam menghadapi dilema moral.