This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 19 November 2014

Kodingareng Keke Island : Pulau Imut tak berpenghuni

Sebuah panorama bahari disebelah barat laut makassar. yang menyajikan ratusan bahkan ribuan gugusan pulau-pulau kecil yang saling bersahutan, keindahan bawah laut dan panorama laut selamat makassar sudah tidak dipertanyakan lagi. beberapa pulau menawarkan wahana-wahana bahkan resort sebagai wadah menyalurkan kegundahan dan seperti stimulasi dopamin untuk meredam stress akibat penat dan sekelumit aktivitas di perkotaan, salahsatu pulau dari ratusan gugusan pulau-pulau yang ada diselat Makassar yakni pulau Kodingareng Keke. pulau yang hanya berkisar seluas 3 hektar masuk dalam kategori pulau kecil yang dimana pulau ini pun tak berpenghuni. pulau yang masyarakat Makassar sendiri masih awam ini menyajikan panorama bawah laut yang sangat terjaga keasliannya dan semoga tetap begitu!


pinggiran pantai sebelah barat pulau
Pulau Kodingareng keke ini dapat ditempuh dengan kapal nelayan sekitar 45 menit dari dermaga poetere, ideal untuk berangkat menuju pulau yakni berkisar pada pukul 11:00 hingga 13:00 WITA dimana ombak masih bersahabat. untuk yang ingin trip kepulau kodingareng keke harus tetap menjaga kebersihan dengan membawa pulang sampah yang sudah dihasilkan dan menjaga terumbu karang dengan tidak menginjaknya.




Berkemah di Kodingareng keke island

Matahari pagi menyambut aktivitas snorkeling

Maaf dalam Postingan kali ini tidak menampilkan seluruh keindahan pulau, mulai dari pasir putih, Alga biru  yang menyala dimalam hari, keindahan bawah laut terumbu karang yang masih tersegel dengan baik, sampai ikan-ikan yang menyapa di bibir pantai. berhubung keindahan hanya bisa digambarkan dengan realitas kita melihat, meraba, dan merasakan sendiri. satu pesan yang selalu terbesit bahwa keindahan ini patut lah dijaga, bukan untuk di eksplorasi keindahannya dengan merusak dan meninggalkan sampah, sejatinya yang hanya ditinggalkan di pulau ini adala kenangan dan jejak kaki saja. salam travelling.

H.D

Senin, 17 November 2014

Eksklusion or Embrace (?) : Menanamkan nilai-nilai perdamaian dan toleransi beragama melalui interfaith dialogue

Sejatinya, pembentukan karakter manusia itu terbentuk karena sebuah adaptasi lingkungan dimulai sejak dini. Agama merupakan suatu kepercayaan/keyakinan yang dimiliki setiap insan manusia sebagai wadah spiritual pembangun karakter maupun nutrisi untuk kejiwaan. Namun akibat dari sebuah eksistensi keagamaan secara tidak langsung menciptakan sebuah ruang, dimana setiap individu, keluarga, dan kelompok agama menyatakan secara terbuka bahwa agama yang mereka yakini adalah sebuah kebenaran yang absolute dan secara tidak langsung hal ini menciptakan ruang segregasi yang begitu kental dalam masyarakat social. Tak jarang konflik atas nama agama sering terjadi di Indonesia. Seperti Konflik Maluku dan Poso misalnya ditambah sejumlah kasus terpisah di berbagai  tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara langsung dengan umat Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang “sedikit banyak” dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama ini. Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, pembantaian umat Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika mengusir Dinasti Islam terakhir di Spanyol, adalah konflik antara Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang sejarah. Catatan ini, mungkin akan bertambah panjang, jika intervensi Barat (Amerika dan sekutu-sekutunya) di dunia Islam dilampirkan pula di sini.
Sehingga benar jika dikatakan bahwa agama merupakan suatu konsep keyakinan yang secara gamblang dinyatakan sebagai sumber konflik. Pandangan stereotip satu kelompok terhadap kelompok lainnya, biasanya menjadi satu hal yang muncul bersamaan dengan terdengarnya genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah  masing-masing, dan sebagainya.  Umat Islam dipandang sebagai umat yang radikal, tidak toleran, dan sangat subjektif dalam memandang kebenaran yang  boleh jadi terdapat pada umat. sementara umat Kristen dipandang sebagai umat yang agresif dan ambisius yang bertendensi menguasai segala aspek kehidupan dan berupaya menyebarkan pesan Yesus yang terakhir, “Pergilah ke seluruh dunia dan kabarkanlah Injil kepada seluruh makhluk!” (Martius 16: 15) dan bahkan sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan konsep keagamaanlah yang menjadi sumber konflik utama antara umat manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejumlah teks keagamaan memang mengatur masalah kekerasan dan peperangan seperti dalam tradisi Judeo-Christian, Yehweh “sebutan Tuhan dalam Bibel” digambarkan sebagai “God of War” dan dalam Islam dikenal dengan konsep “Jihad” yang dalam beberapa hal berarti qital (Peperangan) sehingga secara tidak langsung beberapa pengamat menilai bahwa agama melegitimasi terjadinya berbagai konflik social. Namun sebenarnya pandangan tentang agama yang dinilai sebagai sumber konflik adalah suatu prespektif yang tendensinya kebanyakan dikaji dalam lingkup social keagamaan tertentu sehingga mudah muncul sebuah presepsi berbeda terhadap kepercayaan/agama yang lain ataupun bisajadi karena penafsiran yang penyimpang dari apa yang tetulis dalam teks-teks keagamaan yang berkonotasi radikal cenderung intoleran sehingga menjadi landasan bahwa kekerasan itu dihalalkan dalam agama. Namun, pandangan penulis hal ini bukanlah sebuah legitimasi bentuk-bentuk kekerasan apapun namun lebih kepada sebuah ketegasan dalam beragama, dimana diberikan batas-batas yang jelas agar dapat menjalankan perintah agama yang baik dan benar.
            Hal ini dibuktikan bahwasanya islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi toleransi dan memprioritaskan kedamaian. dimana Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan dan jin, apalagi sesama manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Anbiya ayat 107 yang bunyinya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Islam melarang manusia berlaku semena-mena terhadap makhluk Allah., terutama manusia.

Meretas Ruang Segregasi melalui Interfaith Dialogue
Namun tak bisa dipungkiri bahwa memang tidak ada kolerasi yang nyata antara satu agama dengan agama yang lain pada level eksoteris, seperti aspek syari’ah yang dapat memunculkan persamaan. Namun tak dapat dibiarkan jika agama menjadi alasan untuk menghalalkan ruang segregasi dan bahkan ruang konflik didalam masyarakat social ataupun memaksa kelompok untuk mengikuti kelompok yang lain.
Atas dasar permasalahan tersebut muncul sebuah konsep  pemahaman yang tidak memaksa untuk mempercayai namun lebih kepada memahami kelompok lain melalui pendekatan yang humanis yakni membuka sebuah ruang netral, sebuah ruang yang dapat mempertemukan setiap elemen kelompok maupun agama untuk saling mengerti satu sama lain, yang didalamnya lebih kepada pendekatan-pendekatan yang baik dan beradab, yakni sebuh forum interfaith dialogue dengan pembahasan pada level-level tertentu yang lebih mengedepankan aksi-aksi kemanusiaan. seperti pada level esoteris, semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan, termasuk Islam dan Kristen.
Manfaat Forum Interfaith Dialogue  “Kerukunan Beragama”.
 Sejatinya Interfaith Dialogue yang dimaksudkan bukanlah hal mutlak untuk mencari-cari kebenaran karna pada dasarnya kebenaran adalah presepsi yang relative tergantung pemahaman agama yang diyakini. Namun, Melalui interfaith dialogue diiharapkan dapat memperkuat Kerukunan beragama dinegara yang majemuk ini.  Dan dengan alasan yang sama dapat dikembangkan menjadi sebagai faktor pemersatu, penjaga stabilitas dan kemajuan negara di dalam kehidupan berbangsa. Dalam satu decade terakhir perkembangan forum dialog lintas agama tersebut berkembang dalam dinamika social masyarakat Indonesia. Sehingga harus dijaga dan dijalankan terus menerus dan komprehensif.
Kemajemukan merupakan realita yang tidak bisa dihindarkan ataupun dihapuskan sebagai upaya pemersatu, melainkan kemajemukan itu dikelola secara baik dan benar agar setiap elemen-elemen masyarakat yang berlatar belakang keyakinan yang berbeda dapat berkolaborasi dan bersinergi untuk mengumpulkan kekuatan social yang besar dalam mengatasi permasalahan-permasalahan sosial yang kompleks seperti pemberantasan kemiskinan dan kebodohan di Indonesia. Ekspektasi yang nyata bahwa forum interfaith dialogue menjadi forum dialog yang jujur untuk menyamakan presepsi dalam hal kemanusiaan dan menghilangkan prasangka-prasangka yang sering muncul ataupun yang mengganjal dalam suatu kelompok masyarakat. Karena tidak menutup kemungkinan konflik keagamaan terjadi akibat tidak tersampainya informasi antara pemeluk agama sehingga muncul prasangka-prasangka yang mengarah pada terbentuknya penilaian maupun stigma negative didalam kelompok masyarakat. Dan efektifitas dari forum dialog antar umat beragama tidak bertendensi pada aspek teologis ataupun eksklusifitas saja melainkan lebih cenderung  pembahasan pada aspek kemanusiaan.
Menghayati persamaan lewat perbedaan dalam “a common word” menjadi sebuah acuan hidup dalam meretas ruang segregasi yang masih sangat kental dalam ruang social terutama dalam aspek keberagaman agama di Indonesia. Menyerukan jalan tuhan dalam kebijaksanaan dan pengajaran yang baik karna “tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (islam)” (Q.s Al-Baqarah : 256)
Dengan Interfaith Dialogue diharapakan bahwa semakin banyak masyarakat yang mengerti dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam kemajemukan. Menjadi landasan dalam membuka forum-forum diskusi teologis yang baik dan humanis dengan kacamata toleransi dan saling menghargai. Dan menghapus stigma negative yang sering muncul dalam masyarakat terhadap forum diskusi lintas-agama. Mereduksi pemikiran yang radikal antar lintas agama serta Menciptakan ruang inklusifitas saling merangkul dalam hal kemanusiaan. someday peace come true and i am peacemaker. J

Hasim Djamil (H.D)

Minggu, 11 Desember 2011

bacaan

Menghadapi Remaja yang Mulai Berpacaran

Yuli (40 tahun), ibu dari remaja perempuan 14 tahun. Ia salah tingkah ketika pertama kali mengetahui putri sulungnya memberikan kado spesial dengan ucapan romantis untuk teman sekolahnya yang berjenis laki-laki. Lho kok, malah ibunya yang salah tingkah?

Pengalaman Yuli mungkin banyak dialami orangtua lain yang baru pertama kali menghadapi anak remajanya mulai berpacaran. Pasalnya, cukup sulit menyikapi peristiwa ini. Beberapa orangtua bersikap keras, dengan memarahi dan memukul anaknya, disertai larangan keluar rumah, karena khawatir anaknya kebablasan.

Beberapa orangtua lain bersikap cuek karena menganggap dunia remaja memang seperti itu. Lalu, bagaimana sikap orangtua yang tepat? Untuk menjawabnya, hal pertama yang perlu direnungkan adalah wajarkah seseorang jatuh cinta ketika masih remaja?


Hakekat Cinta Remaja
Semua orang membutuhkan kehangatan dan kasih sayang dari orang lain, baik orangtua, saudara, sahabat, pasangan (kecuali anak-anak, belum membutuhkan pasangan), bahkan dari Tuhan (pada orang-orang yang religius, cinta Tuhan merupakan keutamaan tertinggi).

Erich Fromm (1900-1980) seorang ahli psikologi dan filsafat sosial yang terkenal dengan bukunya The Art of Loving menyatakan, cinta merupakan jawaban terhadap masalah eksistensi manusia. Hidup dapat berlanjut dengan penuh makna hanya bila manusia hidup dalam cinta.

Tanpa cinta seseorang akan merasa terpisah dari masyarakat dan alam sekitar, mengalami kecemasan tiada tara, karena kesepian dan tidak berdaya menghadapi kehidupan yang membentang. Dalam hal ini cinta persaudaraan (universal) yang sering disebut cinta sesama, merupakan cinta paling fundamental, mendasari segala tipe cinta.

Dasar pemikiran Fromm itu, selain dapat ditengok melalui sejarah peradaban manusia yang tidak pernah lepas dari kisah kegila-gilaan pencarian cinta dan ritual penyembahan yang membangun rasa persekutuan, secara nyata dapat kita simak melalui pertumbuhan-perkembangan manusia ketika memasuki usia remaja. Dengan kondisi perkembangan fisik-psiko-sosial yang khas ketika remaja, manusia mulai mengembangkan kebutuhan akan cinta romantik.

Ketika memasuki masa remaja (12 atau 13 tahun), sering disebut masa pubertas, individu mengalami kematangan fisik dan organ-organ seksual. Hormon pertumbuhan yang sebelumnya sudah aktif, pada masa ini mengalami percepatan pertumbuhan karena kematangan tersebut, dan hormon seks yang semula pasif telah menjadi aktif.

Perubahan fisik yang cepat dan aktivitas hormon seksual, tentu saja kemudian menimbulkan perubahan-perubahan psikis maupun sosial. Dengan perkembangan kognisi (kemampuan berpikir) dan emosi-emosi yang menyertai perkembangan fisik-seksual, secara psikologis remaja mulai merasakan individualitasnya, menyadari perbedaannya dari jenis kelamin lain, merasakan keterpisahan-keterasingan dari dunia kanak-kanak yang baru saja dilaluinya, namun juga masih asing dengan dunia dewasa.

Dalam kondisi ini mereka mulai mempertanyakan identitasnya; Who am I? Meskipun mungkin tak muncul secara eksplisit, di sela warna-warni keceriaan masa remaja, kegelisahan yang menyangkut identitas ini pasti dirasakan. Kegelisahan karena keterpisahan, karena keterasingan! Inilah persoalan eksistensial manusia!

Remaja yang memiliki keluarga yang hangat (penuh cinta) akan dapat melewati masa-masa sulit ini dengan relatif mudah. Sebaliknya mereka yang tidak merasakan kehangatan cinta dalam keluarga, akan memasuki kehidupan yang sulit, ketika mereka masih belum sepenuhnya mengerti kehidupan.

Identitas Diri
Remaja berusaha menemukan jawaban atas kekaburan identitas itu, melalui kelompok sosial di luar keluarga, khususnya kelompok teman sebaya (peer group). Para ahli psikologi sosial tahu persis bahwa kelompok merupakan bagian integral dari identitas sosial individu.

Dengan demikian kita tak perlu heran bila remaja cenderung konform (to conform, mengikuti sikap atau perilaku kelompoknya), karena di sana mereka merasa menemukan ’identitas’ dan berharap tak mengalami penolakan dengan konformitasnya itu. Dalam hal ini orangtua perlu menyadari bahwa keluarga juga merupakan bagian integral identitas sosial setiap anggotanya.

Bila keluarga penuh kehangatan (penuh penerimaan) dan disertai ajaran moral, mereka akan melalui pergulatan masa remajanya dengan mengembangkan nilai-nilai yang diperoleh melalui keluarga, dan selanjutnya membentuk kesadaran akan identitas diri.

Sebaliknya remaja dari keluarga yang berantakan atau penuh kekerasan, hari-harinya cenderung dipenuhi rasa penolakan (marah, memberontak, depresi) dan/atau pencarian penerimaan dari luar keluarga dengan cara tak sehat (membabi buta, jalan pintas melalui seks, alkoholisme dan obat-obatan) dilandasi oleh konsep diri yang negatif. Dalam situasi demikian, identitas diri yang sejati akan sulit ditemukan.

Identitas lebih dari sekadar konsep diri. Ini merupakan kata kunci dari kebermaknaan eksistensi manusia. Merupakan pengenalan (penemuan) atas aspek-aspek di dalam diri yang menjangkau aspek spiritual (kehidupan batin yang berelasi dengan alam, manusia lain, dan Tuhan), yang memberikan ketenangan, rasa keutuhan-kepenuhan yang relatif menetap.

Secara alami setiap remaja menerima tugas untuk menemukan identitas diri masing-masing, agar selanjutnya dapat memasuki masa dewasa secara sehat dan matang. Untuk itu mereka harus bergerak menuju orang lain. Di samping masuk dalam interaksi sosial yang lebih luas di luar keluarga, secara biologis mereka telah dibekali dengan kematangan organ-organ seksual untuk bergerak menuju individu lain yang berlawanan jenis.

Hal ini harus dilihat sebagai tanda alamiah bahwa ketertarikan terhadap lawan jenis disertai dorongan seksual merupakan hal yang kodrati. Sebagai suatu motif, wajar pula bila dorongan semacam ini disertai muatan emosi yang seringkali menimbulkan kecemasan orangtua.

Yang perlu dicatat, rasa kesepian/keterasingan/keterpisahan makin dalam bila remaja tak dapat involve (memiliki keterlibatan emosional) dalam keluarga atau kelompok sosial yang ada. Akibatnya kebutuhan akan kehangatan cinta dapat berkembang secara primitif-instinktif-biologis, berupa dorongan seksual yang membabi-buta.

Catatan penting lain, perihal ketertarikan dan dorongan seksual menuju lawan jenis, pada remaja hal tersebut masih berupa suatu bentuk kesiapan (untuk kelak bersatu jiwa-raga dengan perasaannya), sementara mereka masih harus banyak belajar mencintai lawan jenis (cinta romantik) di tengah pembelajaran mereka yang terus-menerus akan bentuk-bentuk cinta yang lain.

Dorongan seks bukan sesuatu yang harus disalurkan melalui hubungan seksual. Tidak boleh dilupakan bahwa ketertarikan dan dorongan seks menuju lawan jenis merupakan fungsi luhur manusia untuk memenuhi panggilan hidup berkeluarga.

Orangtua harus dapat menjelaskan, bahwa relasi seksual merupakan hal agung, yang akan memberikan rasa kepenuhan (penyatuan kembali dari rasa keterpisahan) hanya bila dilakukan dengan cinta sejati. Sebaliknya, relasi seksual yang dilakukan sebagai pelarian tanpa cinta, bakal membuahkan jurang keterpisahan yang makin dalam.

Cinta berarti keputusan untuk memberikan diri dan menerima pihak lain sepenuhnya sepanjang hidup. Dengan persatuan ini dua orang yang saling mencintai akan saling memperkembangkan dan memperkuat identitas masing-masing dan mengalami rasa kepenuhan. Sebagai makhluk yang hidup dalam pranata sosial, cinta sejati hanya akan menemukan tempat yang nyaman dalam lembaga perkawinan.


Menuju Prinsip-Moral
Eksistensi manusia juga memiliki penyangga (buffer) lain. Menurut Fromm terdapat tiga cara yang sering digunakan manusia; membangun keseragaman (konformitas), kerja rutin dan hiburan rutin, serta kegiatan kreatif.

Bagi remaja hal itu berarti, perlu kesempatan luas untuk berinteraksi dengan teman sebaya atau berbagai kelompok yang memungkinkan melakukan konformitas secara positif, pelaksanaan tugas (belajar dan tugas lain) dan hiburan (mengembangkan hobi, aktifitas rekreatif) secara rutin, serta melakukan kegiatan kreatif (mencipta dalam bidang sastra, musik, seni rupa, ilmu pengetahuan, dsb.).

Sebagai orangtua tentu kita menginginkan agar anak remaja kita dapat melewati kehidupan ini dengan landasan moral yang kuat, antara lain dapat melewatkan masa pacaran secara sehat, tak melanggar norma susila. Nasihat yang paling sering didengungkan adalah ’perkuat agama’!. Sebenarnya itu tak cukup, bila agama hanya diartikan sebagai sejumlah kewajiban dan larangan.

’Perkuat agama’ hanya akan memiliki pengaruh signifikan bila diartikan sebagai memperkuat nilai-nilai moral ke tingkat yang internal, yaitu tingkat moral tertinggi. Artinya ketika seseorang yang menghadapi dilema-dilema moral, secara reflektif mengembangkan prinsip-prinsip moral pribadi yang otonom (bertindak atas dasar moral yang diyakininya , bukan karena tekanan sosial). Ini dapat terbentuk karena penerimaan nilai moral yang diperoleh melalui lingkungan sosial (keluarga, sekolah, kelompok agama, dll.) yang diolah melalui penalaran dan dicamkan dalam batin.

Berdasarkan proses di atas tampak bahwa penalaran berperan penting bagi pengembangan prinsip moral. Hal ini dapat kita bandingkan dengan dua tingkatan moral yang lebih rendah. Pada stase yang paling rendah, pra-konvensional, orang memberikan penilaian baik atau buruk atas dasar konsekuensi hukuman atau hadiah yang menyertai suatu perbuatan, dan melakukan perbuatan baik demi mendapat hadiah atau menghindari hukuman. Dalam hal ini penalaran yang digunakan adalah tingkat rendah, setara dengan penalaran anak 4-6 tahun.

Sedangkan perkembangan moral yang konvensional, orang menilai baik atau buruk atas dasar persetujuan yang diberikan orang lain. Menilai baik apa yang disetujui orang lain, dan menilai buruk apa yang ditolak orang lain.

Pada tahap ini aturan-aturan yang ada dianggap berharga, tapi belum dapat dipertanggungjawabkannya secara pribadi, sekadar ingin mempertahankan aturan yang ada (melestarikan sistem sosial). Tingkat penalaran yang digunakan di sini setara dengan penalaran anak 7-11 tahun.

Pentingnya penalaran dalam mengembangkan moral yang tinggi bermakna bahwa penanaman moral sejak anak-anak harus disertai reason, penjelasan yang masuk akal mengapa suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, yang sesuai dengan kemampuan penalaran anak pada masa itu.

Saat memasuki masa remaja, dengan kemampuan penalaran yang sudah berkembang maksimal (mampu berpikir hipotetik dan menganalisa), anak remaja dapat diajak melakukan pertimbangan-pertimbangan moral dengan penalaran yang tinggi sesuai potensi yang dimilikinya. Bila orangtua memperlakukan remajanya dengan larangan tanpa penalaran, itu adalah pembodohan dan penanaman tingkat moral yang rendah. Akibatnya yang dicapai adalah tingkat moral rendah (eksternal), yang tak tahan uji dalam menghadapi dilema moral.

Sabtu, 10 Desember 2011

cerpen

PART 1

Losing

Aku menuangkan gelas ke dalam air dengan tergesa. "Ups", ujarku cepat, ketika air itu mulai meluber ke sisi gelas. Aku membungkukkan badanku sampai ke bibir gelas dan cepat-cepat meminumnya. Dari sudut mataku, bisa kulihat Eron menengokkan kepalanya ke kanan dan kiri dengan gelisah, berkali-kali ia melirik jam dengan cemas. Eron kemudian menghampiriku dengan langkah-langkahnya yang cepat di sudut cafetaria. Ia menghempaskan tubuhnya ke kursi di sebelahku dengan kesal dan mendesah "Pesawatnya ditunda, delay", ujarnya sambil menatapku tajam. Aku hanya memandangnya tanpa ekspresi. Aku tahu Eron kesal padaku karena aku terlambat mengantarnya ke bandara, dan ketika kukatakan bahwa ia tak perlu cemas bahwa kemungkinan besar keberangkatannya ditunda, ia tak mengucapkan komentar apapun. Ia hanya melirik cemas ke jalan raya dan menyuruhku untuk lebih cepat menyetir. Aku mengatakan hal itu pada Eron hanya untuk menenangkannya, namun aku tak menduga hal ini sungguh terjadi. Eron kesal karena dugaanku benar, karena ia ingin cepat-cepat meninggalkan kota ini. Eron kesal karena aku selalu benar dalam banyak hal, bahkan kenyataannya, Eron kesal terhadap semua yang kulakukan. Aku pun tak tahu kenapa aku bisa tahan dengan laki-laki egois seperti Eron, yang selalu berpendapat dirinya paling benar. Ia sering berkata "Jika seseorang tidak ingin benar-benar mengenalku, ya sudah, toh aku tak butuh mereka", ujarnya marah ketika aku menyarankan padanya untuk berbaikan pada teman sekampusnya.
Dan disinilah Eron dan aku sekarang. Kami berada di bandara kecil kota kami, sedang menunggu pesawat yang ditunda sekitar 3 jam. Aku mengawasi Eron dari sudut mataku. Ia masih duduk dengan gelisah di kursinya. Aku mengenang masa lalu, teringat ketika ia mendekatiku. Eron sangat bergantung padaku kala itu. Eron mengajakku kemanapun dia pergi, dan menanyakan segala sesuatu yang ingin dilakukannya padaku. Eron memang tidak pernah mengatakan cinta padaku, ia hanya ingin menghabiskan banyak waktu denganku. Dan aku menyukai Eron apa adanya. Teman-temanku tidak menyukai Eron. Bahkan beberapa diantaranya ada yang terang-terangan mengatakan, "Tampangnya menyebalkan", atau "Ganteng sih, tapi aku kok tidak suka ya", atau sekedar memperingatkan, "Karin, berpisahlah dengannya, dia punya banyak cewek". Tapi aku tutup telinga. Aku tidak mau ribut dengan Eron, aku mencintainya. Toh Eron memperlakukanku dengan baik, meski kadang ia bertingkah menyebalkan. Aku tak pernah mencari tahu banyak tentang Eron dan bertanya ini itu. Aku senang menghabiskan waktu dengan Eron, walau terkadang aku membencinya karena ia lupa atau sengaja tidak menghubungi dan tidak bisa dihubungi olehku selama berhari-hari. Tapi tetap saja dia Eron-ku. Eron yang menyebalkan. Datang dan pergi sesuka hatinya.
Aku dan Eron tak banyak bicara kali ini. Kami membiarkan waktu berlalu dengan lambat dengan sikap diam dan memutuskan sibuk dengan pikiran masing-masing. Lama kemudiab, aku tak tahan. Kemudian aku memalingkan wajah ke arah Eron yang duduk disebelahku "Setelah kau pergi, apakah kita masih berteman", ujarku tiba-tiba. Eron tampak salah tingkah, sesaat ia terpana memandangku lalu menjawab pelan, "Yeah, kurasa begitu", sahutnya pendek. Aku cuma mengangguk mendengarnya. Aku berani bertaruh, Eron tak akan menghubungiku lagi sesudah ini. Eron memang menjauh dariku akhir-akhir ini, ia bahkan terang-terangan tidak memenuhi undangan dariku dan memilih pergi bersama teman-temannya. Tapi memang begitulah Eron, selalu bertingkah semaunya. Eron telah menyelesaikan kuliahnya di kota kecil ini, dan ia berniat kembali ke tempat asalnya, kota yang lebih besar. Eron membenci kota ini, Eron selalu berkata begitu denganku. Ia memang sering mengajakku keliling kota dengan sepeda motor besarnya, namun ia tak henti-hentinya mengeluh betapa sepinya kota ini. Aku memandang Eron beberapa saat. Laki-laki bertubuh tegap dan tinggi menjulang. Wajhnya tampan dan kulitnya halus. Aku mulai membuka percakapan lagi dengannya, mencoba memcahkan kebekuan. "Hmm...semoga berhasil", ujarku lagi. Kali ini aku tak memandangi Eron. Aku terlalu pedih. Bisa dikatakan, Eron memang tak pernah memperlakukanku spesial, bahkan aku tak yakin dia menganggap aku pacarnya. Tapi entah kenapa aku merasa sedih sekali harus kehilangan Eron. Ada lubang besar yang menganga di dadaku. lagi-lagi Eron hanya terdiam, entah apa yang dipikirkannya.
"Sepertinya pesawatnya hampir datang", ujar Eron menyentak lamunanku. Aku mengerling memandangnya. Aku menyingkirkan tas Eron dari bahuku, dan menyerahkan padanya. Eron menerima dengan susah payah, karena ia sendiri juga membawa dua tas besar. "Hati-hati ya", ujarku pelan. Eron hanya mengangguk dan melambai padaku. Diterusakannya langkah menuju ruang keberangkatan. Ia terus saja berjalan tanpa menoleh, tanpa kata-kata. Aku hanya memandangi punggungnya menjauh dari balik kaca dengan mendesah sedih. Semuanya sudah berakhir sekarang. Aku berniat melupakan Eron selamanya. Meskipun tadi ia sempat mengatakan bahwa ia akan menghubungiku, tapi kurasa ia tak sungguh-sungguh mengatakannya. Aku melangkahkan kaki dengan lemas menuju parkiran bandara. Sambil setengah melamun, aku pulang dengan merana. Pikiranku kosong. Aku tak menyangka bakalan sesakit ini ditinggal Eron. Aku pulang dengan perasaan terpuruk. Meski semua orang bersyukur aku lepas dari Eron, aku tetap saja merasa sedih. Aku kehilangan orang yang benar-benar kusayangi, dan meskipun aku tak pernah tahu perasaanya padaku, aku tak pernah keberatan, asal aku bisa berada disisi Eron.